Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim, dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara, dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Tiongkok dan Jepang.
Imbauan penanaman kembali lada yang telah dimulai sejak 1636, menemui perlawanan masyarakat di daerah Lampung dan Bengkulu, masyarakat kerajaan-kerajaan di Bengkulu yang berada di bawah kendali kesultanan Banten, seperti Selebar misalnya, melawan imbauan penanaman lada yang mulai terkesan memaksa.
Masa Sultan Ageng Tirtayasa, dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya, Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana, atau Kerajaan Tanjungpura dan menaklukkannya pada tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
Pada tahun 1663, Sultan Banten Abdul Fatah mengeluarkan keputusan membolehkan komoditas lada dijual kepada siapa saja, namun lada yang hendak tersebut harus terlebih dahulu dibawa ke Banten, jika keputusan pengaturan penjualan lada ini dilanggar, maka sebagai hukumannya, istri dan anaknya akan dibawa ke Banten.
Sekitar tahun 1680, muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya, Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh VOC yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sultan Ageng bersama putranya yang lain, pangeran purbaya dan syekh yusuf, mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada bulan maret tahun 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng. akhirnya syekh yusuf tertangkap pada desember 1683, dan pangeran purba tertangkap pada februari 1684.
Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC. pada Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Laksamana kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian pada Agustus 1682, yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.
Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkeramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia.
Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya, diangkat menggantikan Sultan Haji, namun hanya berkuasa sekitar 3 tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya, yang dikenal dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konflik antara keturunan penguasa Banten, maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin. Akibat konflik yang berkepanjangan, Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya, sehingga sejak 1752, Banten telah menjadi vasal dari VOC.
kependudukan.
Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis. Mulai dari Sunda, Jawa, dan Melayu. Sementara kelompok etnis Nusantara lain dengan jumlah signifikan antara lain Makasar, Bugis dan Bali.
Dari beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan terdapat antara 100.000 sampai 200.000 orang lelaki yang siap untuk berperang, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut sebanyak 10.000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang paling dapat diandalkan, menyebutkan dari sensus yang dilakukan VOC pada tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak atau senapan berjumlah sekitar 55.000 orang. Jika keseluruhan penduduk dihitung, diperkirakan berjumlah sekitar 150.000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.
Sekitar tahun 1676, ribuan masyarakat Tiongkok mencari suaka dan bekerja di Banten. Gelombang migrasi ini akibat berkecamuknya perang di Fujian, serta pada kawasan Tiongkok Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman sekitar pinggiran pantai dan sungai, serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan dibandingkan masyarakat India dan Arab. Sementara di Banten, beberapa kelompok masyarakat Eropa juga telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.
perekonomian.
Dalam meletakkan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman, pembukaan sawah mulai diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian, yang menceritakan adanya istilah peladang, pemburu, dan penyadap. Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatannya seperti kujang, patik, baliung, kored, dan sadap.
Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667, pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16.000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, ribuan hektare sawah baru, dan ribuan hektare perkebunan kelapa ditanam. 30 ribu petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Tiongkok pada tahun 1620, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.
pemerintahan.
Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan gelar Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih serta Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada masyarakat Banten terdapat kelompok bangsawan yang digelari dengan tubagus, ratu atau sayyid, dan golongan khusus lainnya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas kaum ulama, pamong praja, serta kaum jawara.
Pusat pemerintahan Banten berada antara 2 buah sungai, yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara di sebelah utara dari istana dibangun Masjid Agung Banten dengan menara berbentuk mercusuar, yang kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di Banten.
Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal yang singgah ke Banten, pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang berada di kawasan yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.