Alfonso de Albuquerque, Karena tokoh inilah, yang membuat kawasan Nusantara waktu itu dikenal oleh orang Eropa, dan dimulainya kolonisasi berabad-abad oleh Portugis bersama bangsa Eropa lain, terutama Britania dan Belanda, juga Spanyol dalam waktu yang singkat.
Dari Sungai Tajo yang bermuara ke Samudra Atlantik itulah armada Portugis mengarungi Samudra Atlantik, yang mungkin memakan waktu sebulan hingga tiga bulan, melewati Tanjung Harapan di Afrika, menuju Selat Malaka. Dari sini penjelajahan dilanjutkan ke Kepulauan Maluku untuk mencari rempah-rempah, komoditas yang setara emas kala itu.
Pada abad ke-16 saat petualangan itu dimulai, biasanya para pelaut negeri Katolik itu diberkati oleh pastor dan raja sebelum berlayar melalui Sungai Tagus. Biara Dos Jeronimos itu didirikan oleh Raja Manuel pada tahun 1502, di tempat saat Vasco da Gama memulai petualangan ke timur.
Ada sejumlah motivasi mengapa Kerajaan Portugis memulai petualangan ke timur. Ahli sejarah dan arkeologi Islam, Uka Tjandrasasmita, dalam buku Indonesia Portugal, menyebutkan tidak hanya ada satu motivasi Kerajaan Portugis datang ke Asia. Ekspansi itu mungkin dapat diringkas dalam tiga kata yaitu emas, kejayaan, dan gereja, atau perdagangan, dominasi militer, dan penyebaran agama Katolik.
Menurut Uka, Albuquerque, Gubernur Portugis Kedua dari Estado dan India, Kerajaan Portugis di Asia, merupakan arsitek utama ekspansi Portugis ke Asia. Dari Goa, ia memimpin langsung ekspedisi ke Malaka dan tiba di sana awal Juli 1511, membawa 15 kapal besar dan kecil, serta 600 tentara. Ia dan pasukannya mengalahkan Malaka pada 10 Agustus 1511. Sejak itu Portugis menguasai perdagangan rempah-rempah dari Asia ke Eropa. Setelah menguasai Malaka, ekspedisi Portugis yang dipimpin Antonio de Abreu mencapai Maluku, pusat rempah-rempah.
Periode kolonisasai Portugis di Nusantara.
Periode 1511 hingga 1526, selama 15 tahun, Nusantara menjadi pelabuhan maritim penting bagi Kerajaan Portugis, yang secara reguler menjadi rute maritim untuk menuju Pulau Sumatra, Jawa, Banda, dan Maluku.
Pada tahun 1511, Portugis mengalahkan Kerajaan Malaka.
Pada tahun 1522, Portugis sudah sampai di Pelabuhan Sunda untuk menandatangani perjanjian dagang dengan Raja Sunda. Perjanjian dagang tersebut dilakukan pada tanggal 21 Agustus 1522. Pada hari yang sama, dibangun sebuah prasasti yang disebut Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal di suatu tempat, yang saat ini menjadi sudut Jalan Cengkih dan Jalan Kali Besar Timur 1, Jakarta Barat. Dengan perjanjian ini maka Portugis dibolehkan membangun gudang atau benteng di Sunda Kelapa.
Pada 1512, Afonso de Albuquerque mengirim sebuah ekspedisi yang terdiri dari dua kapal dan sebuah karavel di bawah pimpinan Antonio de Abreu untuk mencari kepulauan rempah-rempah.
Pada kedatangan Portugis berikutnya pada tahun 1513, Ternate merasa dirugikan oleh Portugis karena keserakahannya dalam memperoleh keuntungan melalui usaha monopoli perdagangan rempah-rempah.
Pada tahun 1533, Sultan Ternate menyerukan kepada seluruh rakyat Maluku untuk mengusir Portugis di Maluku. Pada tahun 1570, rakyat Ternate yang dipimpin oleh Sultan Hairun dapat kembali melakukan perlawanan terhadap bangsa Portugis, namun dapat diperdaya oleh Portugis hingga akhirnya tewas terbunuh di dalam Benteng Duurstede. Selanjutnya dipimpin oleh Sultan Baabullah pada tahun 1574. Portugis diusir yang kemudian bermukim di Pulau Timor.
Di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, Kepala Operasional VOC, perdagangan cengkih di Maluku sepunuh di bawah kendali VOC selama hampir 350 tahun. Untuk keperluan ini VOC tidak segan-segan mengusir pesaingnya, yaitu Portugis, Spanyol, dan Inggris. Bahkan puluhan ribu orang Maluku menjadi korban kebrutalan VOC.
Kemudian mereka membangun benteng di Ternate tahun 1511, kemudian tahun 1512, membangun Benteng di Amurang Sulawesi Utara. Portugis kalah perang dengan Spanyol, maka daerah Sulawesi Utara diserahkan dalam kekuasaan Spanyol pada 1560 hingga 1660. Kerajaan Portugis kemudian dipersatukan dengan Kerajaan Spanyol. Pada abad ke 17 , datang armada dagang VOC yang kemudian berhasil mengusir Portugis dari Ternate, sehingga kemudian Portugis mundur dan menguasai Timor timur sejak 1515.
Kolonialisme dan Imperialisme mulai merebak di Indonesia sekitar abad ke-15, yaitu diawali dengan pendaratan bangsa Portugis di Malaka, dan bangsa Belanda yang dipimpin Cornellis de Houtman pada tahun 1596, untuk mencari sumber rempah-rempah dan berdagang, kemudian bersaing dengan kerajaan Portugal dan Kerajaan Spanyol dalam dominasi perdagangan rempah di Nusantara. Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan Perselisihan dan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit.
Kehadiran Portugis di perairan dan kepulauan Indonesia itu telah meninggalkan jejak-jejak sejarah yang sampai hari ini masih dipertahankan oleh komunitas lokal di Nusantara, khususnya flores, Solor dan Maluku. Di Jakarta, terdapat Kampong Tugu yang terletak di antara Kali Cakung, pantai Cilincing, dan tanah Marunda. Penduduk kampung tersebut menamakan diri "orang Portugis" dan percaya bahwa mereka adalah turunan bangsa Portugis.
Bangsa Eropa pertama yang menemukan Maluku adalah Portugis, pada tahun 1512. Pada waktu itu 2 armada Portugis, masing-masing di bawah pimpinan Anthoni d'Abreu dan Fransisco Serau, mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah mereka menjalin persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat, seperti dengan Kerajaan Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikaoli, yang terletak di antara Negeri Hitu Lama dan Mamala di Pulau Ambon sekarang. Namun hubungan dagang rempah-rempah ini tidak berlangsung lama, karena Portugis menerapkan sistem monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama Kristen.
Salah seorang misionaris terkenal adalah Fransiskus Xaverius. Tiba di Ambon pada tahun 1546, kemudian melanjutkan perjalanan ke Ternate. Persahabatan Portugis dan Ternate berakhir pada tahun 1570. Pada akhir tahun 1575, bangsa Portugis menyerah kepada Sultan Babullah.
Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis, dimanfaatkan Belanda untuk menjejakkan kakinya di Maluku. Pada tahun 1605, Belanda berhasil memaksa Portugis untuk menyerahkan pertahanannya di Ambon kepada Steven van der Hagen, dan di Tidore kepada Cornelisz Sebastiansz. Demikian pula benteng Inggris di Kambelo, Pulau Seram, dihancurkan oleh Belanda. Sejak saat itu Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Maluku.
Kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat dengan berdirinya VOC pada tahun 1602, dan sejak saat itu Belanda menjadi penguasa tunggal di Maluku.